Yukampus
Yukampus pengguna blogger pengumpul blog zombie untuk YuKampus, OmXiaomi, JuruKristen, OppoDito, BroSamsung

Salah Memahami Makna Agama


Di tengah masyarakat beredar kaidah-kaidah yang mereka jadikan acuan di dalam beragama. Padahal kaidah-kaidah selanjutnya tidak tersedia asalnya berasal dari para salafus shalih  dan para ulama Ahlussunnah. Terlebih ulang kaidah-kaidah ini mempunyai kasus dan bertentangan bersama bersama syariat. Diantaranya adalah kaidah-kaidah selanjutnya ini, yang secara umum merupakan kaidah yang batil dan keliru. Walaupun memang, kaidah-kaidah ini dapat dimaknai benar bersama  bersama syarat dan ketetapan khusus.

Kaidah: "kita tolong-menolong di dalam perkara yang kami sepakati, dan kami saling memberikan udzur di dalam perkara yang kami perselisihkan" Jelas kaidah ini keliru,  bertentangan bersama bersama firman Allah: "saling tolong menolonglah di dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menunjang di dalam dosa dan pelanggaran" (QS. Al Maidah: 2). Ayat ini membuktikan bagwa tolong menunjang itu bukan di dalam perkara yang disepakati oleh manusia, namun di dalam kebaikan dan ketaatan. Jika sekelompok orang setuju

melaksanakan bid’ah, maka senantiasa tidak boleh tolong-menolong di dalam kebid’ahan. Kaidah di atas juga bertentangan bersama bersama firman Allah: "Jika kamu tidak sama pendapat perihal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jikalau kamu amat beriman kepada Allah dan  hari kemudian. Yang demikianlah itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59)

Maka di dalam perkara yang kami perselisihkan, sikap yang benar bukan memberikan saling memberikan udzur, namun kami ulang kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan dalil sebagai  kata pemutus. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: "Kaidah: kami bersatu di dalam perkara yang kami sepakati, dan kami saling memberikan udzur di dalam perkara yang kami perselisihkan. Ini tidak ragu ulang adalah  perkataan yang batil. Wajib bagi kami seluruh untuk bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Perkara yang kami perselisihkan, kami kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah  Rasul, bukan menjadi kami saling bertoleransi dan melepaskan senantiasa terhadap perbedaan. Bahkan yang benar adalah kami kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendapat yang bersesuaikan bersama bersama kebenaran, kami ambil, pendapat yang tidak benar maka kami tinggalkan. Itulah yang mesti bagi kita, bukan melepaskan umat senantiasa terhadap perselisihan" (Syarah Ushul As Sittah, hal. 20-21).

Namun, kaidah di atas dapat menjadi benar jikalau yang dimaksud adalah perkara yang ulama ijma (sepakat) itu disyariatkan, maka memang benar kami hendaknya saling-menolong. Juga jikalau yang dimaksud adalah perkara khilafiyah ijtihadiyyah saaighah, maka memang benar kami hendaknya saling memberikan udzur. Ibnu Hashar membuktikan suatu kaidah penting:"Tidak seluruh khilafiyah itu dianggap, namun yang dianggap khilafiyah adalah yang mempunyai segi pendalilan yang benar".

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: "Ada banyak kasus yang para ulama berlapang dada di dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, gara-gara tersedia lebih dari satu pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar terhadap dalil yang shahih atau terhadap kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka di dalam kasus yang layaknya ini, tidak boleh kami berasumsi orang yang berpegang terhadap pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan semestinya kami mentoleransi tiap-tiap pendapat sepanjang bersandar terhadap dalil shahih, biarpun kami berasumsi pendapat yang kami pegang itu lebih tepat". (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Kaidah: "lihat apa yang dikatakan, jangan menyaksikan siapa yang berkata" Yang benar, di dalam kasus dunia dan lebih ulang di dalam kasus agama, kami mesti selektif dan menyimak bersama bersama baik siapa yang berkata? Allah ta’ala berfirman:"Dan sungguh Allah sudah menurunkan kapabilitas kepada kamu di di dalam Al Quran bahwa seumpama kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki percakapan yang lain. Karena memang (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa bersama bersama mereka. Sesungguhnya Allah dapat mengumpulkan seluruh orang-orang munafik dan orang-orang kafir di di dalam Jahannam" (QS. An Nisa: 140).

Ayat ini melarang duduk-duduk di majelis orang yang buruk. Maka artinya, mesti selektif pilih majelis. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:"Diantara sinyal kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu berasal dari al ashaghir (ahlul bid’ah)" (HR. Ibnul Mubarak di dalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai di dalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani di dalam Silsilah Ash Shahihah [695]).Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanti terhadap ahlul bid’ah yang menjadi pengajar. Maka ini membuktikan mesti selektif di dalam mengambil alih ilmu.

Demikian juga kasus dunia, mesti dilihat siapa yang mengatakannya. Allah ta’ala berfirman:"Wahai orang- orang yang beriman, jikalau tersedia seorang faasiq berkunjung kepada kalian bersama bersama mempunyai suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), sehingga jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya terhadap suatu kaum atas basic kebodohan, sesudah itu selanjutnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian" (QS. Al-Hujurat: 6).

Maka paham kelirunya kaidah di atas. Namun kaidah di atas dapat benar, jikalau di bawakan di dalam bab "menerima kebenaran". Jika suatu perkataan sudah tersampaikan, entah disengaja atau tanpa sengaja sampainya, dan itu bersesuaian bersama bersama kebenaran, maka mesti diterima siapa saja yang mengatakannya. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang mempunyai kabar berasal dari setan namun dibenarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,Setan berkata, "Biarkan mengajarimu suatu kalimat yang dapat berfungsi untukmu". Abu Hurairah bertanya, "Apa itu?" Setan pun menjawab, "Jika engkau hendak tidur, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum‘ sampai selesai. Maka Allah dapat senantiasa menjagamu dan setan tidak dapat mendekatimu sampai pagi

hari". Abu Hurairah berkata, "Aku pun melepaskan diri setan tersebut. Dan disaat pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan padaku, "Apa yang dilaksanakan oleh tawananmu semalam?". Abu Hurairah menjawab, "Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfaat padaku jikalau membacanya. Sehingga saya pun melepaskan dirinya". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa kalimat tersebut?" Abu Hurairah menjawab, "Ia membuktikan padaku, jikalau saya hendak tidur hendaknya membaca ayat kursi sampai selesai, yakni ayat ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia membuktikan padaku bahwa Allah dapat senantiasa menjagaku dan setan pun tidak dapat mendekatimu sampai pagi hari. Dan dahulu para teman akrab adalah orang-orang yang paling dorongan di

dalam melaksanakan kebaikan". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, "Dia (setan) sudah membuktikan kebenaran, biarpun asalnya dia adalah makhluk yang banyak berdusta. Engkau paham siapa yang bicara padamu di dalam tiga malam kemarin, wahai Abu Hurairah?". Abu Hurairah menjawab: "Tidak tahu". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Dia adalah setan." (HR. Bukhari no. 2311).Perkataan setan senantiasa dibenarkan jikalau memang bersesuaian bersama bersama kebenaran. Dan tentunya untuk menilai suatu perkataan itu  bersesuaian bersama bersama kebenaran atau tidak, ini mesti ilmu. Bukan bersama bersama anggapan baik atau perasaan.

Kaidah: "ambil baiknya, membuang buruknya" Kaidah ini juga bertentangan bersama bersama dalil-dalil di poin ke dua di atas perihal wajibnya selektif di dalam melacak kebenaran dan melacak ilmu. Bukan ambil berasal dari sembarang orang lalu menjadi dapat mengambil alih baiknya dan membuang buruknya.Kaidah ini juga bertentangan bersama bersama akal sehat. Karena bagaimana dapat saja pencari kebenaran dan penuntut ilmu paham mana yang baik dan mana yang buruk, padahal dia baru saja menghendaki belajar dan mencari?! Padahal paham mana yang baik dan mana yang jelek mesti kepada ilmu.

Namun kaidah ini dapat benar jikalau diterapkan terhadap orang yang mayoritasnya baik dan di atas kebenaran namun dia tergelincir terhadap lebih dari satu kekeliruan. Seperti disaat berguru terhadap seorang ulama yang berpegang terhadap sunnah dan akidah yang lurus. Maka tentu saja ulama sebagaimana manusia biasa, ia tidak sempurna, kadangkala tersedia kekurangan di dalam dirinya berupa lebih dari satu akhlak yang jelek atau lainnya. Maka di sini baru diterapkan, "ambil baiknya, membuang buruknya". Rasulullah

Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:"Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik" (HR. Ibnu Hibban 94). dalam riwayat lain:"Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), jikalau jikalau terkena hadd" (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani di dalam Ash Shahihah, 638).

Yukampus
Yukampus  pengguna blogger pengumpul blog zombie untuk YuKampus, OmXiaomi, JuruKristen, OppoDito, BroSamsung

Comments